Aku tuh seorang kakak cewek pertama di keluarga. Punya dua adik laki-laki. Harusnya, saudara cewek tuh manja dan kolokan. Tapi, aku nggak bisa begitu.
Malah ya, aku lagi sering termenung belakangan ini, mikirin satu hal yang terus-menerus muncul di benakku. Aku pingin punya rumah sendiri.
Entah kenapa, tiap kali terlintas impian ini tuh, rasanya langsung disusul sama perasaan nggak enak. Kayak ada yang nyeletuk gini, “Emang boleh ya?”
Padahal, aku cuma pingin punya ruang sendiri lho, Sobat Venus. Sebuah tempat di mana aku bisa menata hidupku, menaruh barang-barangku sesuai keinginanku, atau sekadar bisa rebahan tanpa mikirin siapa-siapa.
Tapi kenapa ya, rasanya kayak aku tuh melakukan pengkhianatan kecil? Seolah-olah, dengan memikirkan diri sendiri, aku jadi kakak yang nggak baik.
Tumbuh Sebagai Kakak Cewek Pertama dalam Keluarga
Sejak kecil, aku yakin banyak dari kita, para kakak cewek sulung, yang udah terbiasa dengan ekspektasi untuk jadi dewasa lebih dulu.
Kita ini ibarat “pengasuh kedua,” yang seringkali jadi penengah kalau adik-adik berantem. Mana paling sering disuruh ngalah pula.
“Kakak kan sudah besar, kasih ke adik saja,” atau “Kakak harus jadi contoh yang baik.”
Belum lagi kata-kata bapakku yang bilang kalau kakak cewek tuh jadi tempat pulang bagi saudara laki-laki.
Kalimat-kalimat itu udah mendarah daging, membentuk prinsip, kayak “harus mikirin adik dulu,” dan “jangan egois.”
Tanpa sadar, kita tumbuh dengan peran yang tak terlihat itu. Kita jadi penanggung jawab moral, orang pertama yang dicari kalau ada masalah, bahkan sebelum orang tua.
Huft. Beban ini, meski seringkali terasa ringan karena didasari rasa sayang pada keluarga, tapi kok perlahan malah menumpuk ya.
Ketika Impian Pribadi Mulai Terdengar “Aneh”
Maka, saat ada ide untuk punya rumah sendiri mulai berani muncul, itu rasanya kayak jadi suara sumbang.
Nih ya, kubilangin, impian punya rumah tuh bukan soal kemewahan, Sobat Venus. Bukan untuk pamer atau gaya-gayaan.
Tapi lebih ke keinginan sederhana untuk merasa aman, punya kendali atas ruang pribadi, dan tempat untuk pulang yang benar-benar “punya kita.”
Sayangnya, di tengah obrolan keluarga atau bahkan pikiranku sendiri, muncul suara-suara lain. “Kenapa nggak buat bantu orang tua dulu?” atau “Nanti kalau nikah gimana, kan pindah juga?”
Pertanyaan-pertanyaan itu, meskipun mungkin punya maksud baik, tetap saja langsung memicu rasa bersalah yang dalam. Aku takut dianggap egois, takut dicap lupa keluarga atau nggak peduli sama adik-adik.
Seolah-olah, memprioritaskan impian pribadi berarti melupakan mereka. Duh lah.
Mulai Belajar Bedain, Mana Egois, Mana Hak Atas Diri Sendiri
Pernah nggak sih, Sobat Venus ngerasa kayak gitu? Rasanya, mencintai diri sendiri kok kayak berdosa banget, ya?
Padahal, ini adalah pelajaran terbesar yang sedang kucoba tanamkan dalam diriku. Mencintai diri sendiri bukan berarti meninggalkan orang lain, apalagi keluarga dan saudara kandung. Sama sekali nggak lho.
Membeli rumah, atau mengejar impian pribadi lainnya, bukanlah simbol perpisahan kok. Justru, ini adalah simbol keberanian untuk bertumbuh. Ini tentang menemukan batas sehat dalam hubungan.
Aku tuh tetap bisa menyayangi keluarga tanpa harus selalu mengorbankan diri sendiri. Aku kan berhak punya tempat, ruang, di mana aku bisa mengisi ulang energiku.
Self-Love Versi Kakak Cewek Pertama, Kakak yang Baik Juga Perlu Ruang untuk Dirinya Sendiri
Bagi seorang kakak sulung, self-love ini memang butuh proses. Pelan, tapi pasti. Membeli rumah adalah salah satu bentuk nyata dari menghargai diri sendiri.
Itu adalah investasi untuk rasa aman, untuk punya kontrol atas alur hidup, dan yang paling penting, ruang untuk pulih dari segala hiruk pikuk kehidupan.
“Kakak yang baik” itu bukan dia yang selalu memberi sampai habis tak bersisa. Aku dulu berpikir begitu. Memberi semua yang kupunya hingga nggak ada sisa untuk diriku sendiri. Event untuk perawatan diri.
Tapi sekarang, aku sudah menyadari satu hal. Kakak yang baik adalah dia yang tahu kapan harus menjaga diri, kapan harus mengisi kembali “tangki” energi.
Hal ini kulakukan agar aku bisa terus mencintai dan mendukung keluarga berikut adik-adikku dengan lebih tulus.
Lagian ya, ini bukan tentang memisahkan diri. Tapi tentang menguatkan akar agar pohonnya bisa tumbuh lebih kokoh.
Rumah Itu Akan Tetap Punya Pintu Kok
Jadi, kalau nanti aku benar-benar punya rumah sendiri, yakinlah, rumah itu akan tetap punya pintu yang terbuka.
Membeli rumah tuh bukan berarti aku menutup hati. Aku akan tetap menjadi kakak, tetap menjadi bagian dari keluarga. Hanya saja, sekarang aku pingin punya ruangku sendiri.
Mungkin, justru dengan mencintai dan memenuhi kebutuhan diri sendiri, aku bisa mencintai mereka semua. Orang tua dan adik-adikku. Dengan lebih jernih, tanpa beban ekspektasi yang menyesakkan.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati mulai dari diri sendiri, kan?
Bagaimana menurutmu, Sobat Venus? Apa kamu juga punya impian yang kadang terasa “bersalah” untuk dikejar? Yuk, berbagi di kolom komentar!
Oh iya, kalau kalian memutuskan untuk membeli rumah tapak, jangan lupa cari tahu urusan kepemilikan lahannya di pastibpn.id ya!
Note: Semua gambar ilustrasi dibuat dengan menggunakan AI Google Studio
Saya juga anak perempuan paling besar. Saya kerja ke luar negeri, buat rumah tapi sertifikat atas nama adik laki². Saya rido kalaupun dia mengakui itu miliknya, emang bikin buat menyenangkan ibu dan adik satu satunya itu.
Tapi Alhamdulillah adk dan ibu tidak serakah. Tetap mengakui ke siapapun kalau itu rumah ha milik saya katanya
aku juga kebetulan anak pertama dan kebetulan juga waktu pertama mau beli rumah sendiri nggak ada yang protes sih orang tua dan adik-adik, kan nggak merepotkan mereka juga wkwkwk
Aku anak tengah, dari 5 bersaudara. Kalau Mbak Yuni, sebagai kakak sulung sering mendamaikan adik-adik. Aku yg tengah pun sama, haha…mendamaikan kakak atau adik-adik kalau berselisih.
Setuju dengan “pintu selalu terbuka”, nanti juga kalau udah rumah-tangga, kan adik-adik diterima dengan tangan terbuka.
Rumus pertama, Jangan jadi orang nggak enakan. Kalo memang tujuannya baik, ya kenapa nggak digaskeun saja. Bukannya egois sih, tapi diri ini pun punya hak untuk kebahagiaan kita dong. Kalo dengerin terus apa kata orang, nggak bakal bahagia diri ini. Saya punya impian, ya saya kejar. Minimal ada salah satu dari kita yang jadi orang sukses.. !!
Nggak egois kok pengen punya rumah sendiri. Justru itu bentuk self-love yang penting biar kita bisa ngasih yang terbaik buat keluarga. Semangat terus kejar impianmu! Pasti bisa!
Memiliki rumah sendiri itu bukan egois kak, kakak juga berhak kok.
Bahagia itu kita snediir yang ciptakan berilah diri ini ruang untuk menikmati kesendirian jika hal itu daoat mengisi tanki cinta kita kenapa tidak. Tanki cinta ini yang nantinya akan kita bagikan ke sekitar.
Ga ada juga yang minta dilahirkan jadi anak perempuan dan anak pertama bukan, so nikmati saja
Saya pun anak pertama perempuan dan bisa merasakan keresahan itu sehingga keresahan itu tidak akan saya wariskan ke anak sulung perempuanku, dia bebas menjadi dirinya sendiri tanpa terbebani dengan anak perempuan pertama
Klo menurut saya sih, impian punya rumah sendiri itu wajar. Itu kan hak pribadi ya, bahkan didapatkan dengan usaha sendiri. Investasi masa depan yang sangat bagus tuh.
Tapi entah ya soal pandangan orang dan ekspektasi dengan kakak pertama, saya kurang bisa memahami, soalnya saya anak bungsu hehehee…
Memungkin ada pada diri seseorang rasa bersalah “ngapain gue nguber² impian itu padahal hasilnya nggak ada” Tapi dengan begitu, pastinya dapat pelajaran hidup yang berharga buat kedepannya
Setiap kita punya hak tanpa harus bersalah.
So, punya rumah sendiri itu adalah hak kita, bukan egois
Prinsipnya adalah bahagiakan diri sendiri dulu untuk dapat membahagiakan orang lain
Punya rumah sendiri harus jadi cita² malah mbaa….kalau saya malah kebalikannya pandangannya. Justru anak laki² yang harus mengayomi kakak perempuan karena laki² itu tanggung jawabnya lebih berat.
Wahh, aku malah salfok sama gambarnya. Dibikin dari AI Google Studio ternyata, keren mba.
Btw kalau di keluargaku baik laki2 maupun perempuan sama ayahku harus “beli” kalau mau nempatin tanah yg dipunya sama ortu. Menghindari saling iri jugaa. Soal nti jadi warisan itu urusan lain.