Hola Sahabat Flora! Kalian sudah tahu ‘kan kalau aku tuh anak sulung perempuan dalam keluarga? Aku punya dua adik laki-laki, di mana salah satunya lebih dulu menikah. Padahal, aku saja belum.
Di Madura tuh ada istilah kalau anak sulung perempuan (saudara perempuan umumnya) menjadi tempat pulang bagi anak laki-laki. Makanya, nggak heran kalau aku butuh pertimbangan sebelum membeli rumah.
Semua pertimbangan itu bakalan kutulis dalam artikel ini. Tentu saja, aku menyadari kalau mungkin saja kalian punya tambahan informasi lain yang belum kutulis.
Jadi, jangan sungkan untuk menuliskannya di kolom komentar ya! Biar kita bisa diskusi di sana.
Pertimbangan Sebelum Membeli Rumah dari Kakak Sulung Perempuan
Ada satu hal yang seringkali nggak terlihat dari luar. Menjadi kakak sulung perempuan itu penuh dengan peran yang nggak tertulis.
Kadang aku jadi pengatur, kadang jadi penopang, dan sering kali aku jadi tempat pulang saat keluarga sedang goyah. Dalam posisi itu, aku merasa setiap keputusan besar punya bobot lebih. Termasuk keputusan membeli rumah.
Bagi banyak orang, rumah mungkin cuma sebatas investasi atau kebutuhan tempat tinggal. Tapi bagi seorang kakak sulung, rumah adalah simbol tanggung jawab.
Sebuah ruang yang ingin kuciptakan nggak hanya untuk diriku sendiri, tapi juga sebagai tempat aman untuk keluarga. Meskipun, nantinya kami akan merasakan manfaat hidup minimalis.
Oleh karena itu, setiap pertimbangannya harus kupikirkan secara matang, penuh perhitungan, tapi juga tetap hangat dengan harapan.
Berikut adalah hal-hal yang kupelajari, sekaligus pertimbangan yang mungkin bisa menemani kalian dalam perjalanan membeli rumah.
1. Keuangan, Pondasi yang Tidak Boleh Rapuh

Aku percaya, rumah adalah mimpi yang indah. Tapi, ia juga harus berdiri di atas pondasi keuangan yang kuat. Nggak sekedar punya rumah dengan kondisi finansial yang berantakan.
Sebelum melangkah lebih jauh, aku duduk bersama buku catatan kecilku. Menuliskan dengan jujur berapa sebenarnya pendapatan, pengeluaran, tabungan, dan utang yang kupunya.
Menurutku, ini tuh penting banget. Soalnya dari sana, aku belajar menghitung kemampuanku dalam membeli rumah.
Tapi ‘kan beli rumah bisa nyicil, Yun? Apalagi kalau punya gaji tetap setiap bulan. Bayar cicilan mah gampang.
Sahabat Flora harus tahu dulu nih. Gaji bukan sekadar angka yang lewat setiap bulan. Tapi, penentu se-realistis apa aku bisa membayar cicilan rumah tanpa membuat hidupku terasa tercekik.
Beberapa website yang membahas tentang keuangan pernah menuliskan ilustrasi soal proporsi gaji dan cicilan. Aku berpikir informasi itu sangat membantuku untuk menahan diri agar nggak tergoda membeli rumah di luar kemampuan.
Dan tentu saja, membeli rumah bukan hanya soal uang muka. Aku juga menyiapkan “tabungan tak terlihat”, kayak biaya notaris, pajak (BPHTB), serta dana untuk pemeliharaan rumah di masa depan. Termasuk dana untuk https://dlhdkijakarta.id/
Karena pada akhirnya, rumah bukan hanya harus kubeli, tapi juga harus kurawat sepenuh hati. Biar jadi rumah yang nyaman kelak.
2. Menentukan Kebutuhan dan Tipe Rumah, Sesuaikan dengan Visi untuk Masa Depan
Sebagai kakak sulung, aku terbiasa memikirkan orang lain. Memikirkan adik-adikku, memikirkan orang tuaku, dan yang lainnya.
Jadi saat memilih rumah, pikiranku nggak berhenti pada diriku saja. Aku membayangkan, gimana kalau suatu hari adik-adik berkunjung? Gimana kalau nanti aku membangun keluarga kecilku? Apakah keluarga masing-masing bisa tinggal dengan nyaman dalam satu rumah?
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntunku untuk memilih rumah yang sesuai dengan kebutuhan keluarga. Bukan sekadar rumah yang terlihat indah dari luar saja.
Selain itu, masih ada pertimbangan antara mau beli rumah baru atau rumah bekas. Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangan.
Kayak, rumah baru biasanya memberi rasa aman soal kualitas, sementara rumah bekas kadang lebih ramah di kantong. Bagiku, pilihan itu bukan sekadar angka, tapi juga tentang kenyamanan hati.
3. Lokasi, Akan Menentukan Arah Hidup, Bukan Hanya Alamat
Sahabat Flora juga sudah menyadari ‘kan? Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Ia adalah titik pusat dari perjalanan sehari-hari. Karena itu, aku menaruh perhatian besar pada lokasi.
Aku pinginnya punya rumah yang mudah diakses, dengan transportasi yang memudahkan langkahku ke tempat kerja maupun aktivitas lain.
Aku juga memikirkan fasilitas di sekitarnya, kayak sekolah, rumah sakit, pasar, atau sekadar taman kecil untuk menyegarkan hati.
Dan yang paling penting, lingkungannya. Pokoknya, aku pingin tempat yang aman, bebas banjir, udara yang nggak terlalu sesak oleh polusi, dan kalau bisa ada area hijau untuk menenangkan jiwa.
Soalnya, bagiku, rumah bukan hanya tempat tidur. Ia juga ruang di mana hati belajar tenang. Pokoknya, rumah tuh harus menjadi hunian yang nyaman.
4. Kondisi dan Legalitas, Detail yang Menentukan Nyaman atau Penyesalan
Sahabat Flora pernah dengar pepatah lama ini nggak? Jangan tertipu oleh cat yang rapi!
Makanya, aku belajar untuk mengecek kondisi fisik rumah lebih dalam, seperti material, listrik, air, hingga saluran pembuangan. Hal-hal kecil ini menentukan apakah rumah itu benar-benar siap huni atau hanya indah dipandang.
Dan tentu saja, legalitas. Aku nggak mau dong, rumah yang kusesuaikan dengan mimpi malah berakhir jadi masalah hukum.
Makanya, aku harus memastikan sertifikat hak milik (SHM), akta jual beli (AJB), PBB, hingga IMB jelas dan sah. Karena rasa aman bukan hanya datang dari tembok, tapi juga dari dokumen yang kuat.
Jangan lupa soal detail dari https://dlhdkijakarta.id/ juga ya!
5. Proses Transaksi, Belajar Bahwa Aku Nggak Harus Sendiri

Sebagai kakak sulung, aku sering merasa harus bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi membeli rumah mengajarkanku hal lain. Nggak apa-apa kok meminta bantuan pihak lain.
Makanya, aku juga mempertimbangkan jasa agen properti yang berpengalaman. Biar mereka bisa membantuku dalam menelusuri detail yang mungkin luput dari mataku.
Tentu saja, aku nggak hanya mengandalkan foto atau deskripsi online. Aku belajar pentingnya datang langsung, menginjak tanah di lokasi, melihat tetangga, dan merasakan suasananya.
Mau gimana lagi? Sejak tadi ‘kan sudah kubilang kalau rumah bukan sekadar bangunan. Ia juga jadi kehidupan nyata yang akan kutinggali nantinya.
Rumah Sebagai Simbol Cinta dan Tanggung Jawab
Bagi seorang kakak sulung perempuan, membeli rumah bukan hanya soal punya atap di atas kepala. Tapi, tentang menciptakan ruang aman, tempat pulang, dan simbol cinta serta tanggung jawab yang selama ini kuemban.
Setiap pertimbangan sebelum membeli rumah, mulai dari keuangan, kebutuhan, lokasi, kondisi, hingga proses transaksi, bukan cuma soal logika, tapi juga tentang hati.
Karena pada akhirnya, rumah adalah cerita panjang. Ia akan jadi saksi dari tawa, air mata, doa, dan perjalanan yang akan terus kutulis bersama orang-orang yang kucintai.
Dan aku percaya, dengan pertimbangan yang matang, rumah pertama ini bukan hanya milikku. Tapi juga bagian dari warisan rasa aman untuk mereka yang suatu hari akan datang dan berkata, “Terima kasih, Kak, sudah menciptakan tempat ini.”
Wah sampai saat ini belum bisa beli rumah, baru tanah. Eh keburu kena PHK
Beli rumah memang harus begitu jeli dan perhitungan yang matang.